Memandang Dengan Empati

Strabismus atau mata juling adalah kelainan posisi antar kedua bola mata yang tidak sejajar, akibat gangguan kelemahan kontrol pada otak terhadap otot mata(neuromuscular weakness). Penelitian Buffen, A.N (2021) menyebutkan saat ini secara global, penderita strabismus mencapai 148 juta orang. Singapura melakukan survei terhadap 3009 anak sehat dengan rentang usia 6-72 bulan menemukan 15% adalah penderita strabismus. Studi oleh Coats (2005) menyebutkan, alasan terbanyak penderita strabismus menunda pengobatan adalah karena opsi operasi tidak pernah ditawarkan oleh dokter matanya (27%).

Saat beraktivitas, penderita strabismus kerap mengeluhkan pandangannya yang kabur, penglihatan ganda, sakit kepala dan harus memicingkan mata untuk memfokuskan penglihatan. Hal ini tentu saja akan menimbulkan rasa lelah dalam proses bekerja atau belajar. Di samping gangguan penglihatan yang tidak nyaman, pasien strabismus sangat rentan menderita mental illness seperti depresi, ansietas hingga fobia sosial. Hal ini berpengaruh terhadap penurunan kualitas hidup penderitanya. Data menunjukkan penderita strabismus memiliki resiko 3 kali lebih besar mengalami permasalahan psikososial (Mohney 2009).

Efek psikososial dan penurunan kualitas hidup dialami salah satu pasien bakti sosial operasi strabismus Annisa (nama samaran) yang mengaku kerap tidak percaya diri ketika harus bersosialisasi. Pandangan matanya bergerak kesana-kemari ketika berbicara dengan orang lain dianggap sebagai sikap yang tidak sopan. Merasa lelah, mahasiswa jurusan ekonomi ini cenderung menarik diri dari pergaulan dan menghindari pertemanan baru. Ketika harus berinteraksi sosial, Annisa juga merasa cemas dan tidak percaya diri. Kondisi strabismus juga kerap diasosiasikan dengan tingkat intelegensi yang rendah. Tekanan sosial dan psikologis juga kerap dialami oleh anggota keluarga penderita. Masih minimnya jumlah dokter spesialis mata yang mendalami bidang strabismus menyebabkan penyebaran tenaga ahli yang kompeten semakin langka dan terbatas. Sehingga menginisiasi untuk mengadakan bakti sosial strabismus yang pertama di Indonesia.

Dr Gusti G.Suardana, SpM (K), selaku ketua bakti sosial memaparkan "Prasangka, kesalahpahaman, dan perlakuan negatif akibat stigma yang keliru akan meningkatkan tekanan sosial yang dialami pasien strabismus”. Sebagai bentuk dukungan terhadap acara ini, Dr. Darwan M. Purba, SpM(K) juga mendonasikan Rp. 150 juta untuk keberlangsungan kegiatan ini. Bakti Sosial Operasi Strabismus ini diharapkan menjadi pemantik bagi seluruh stakeholder, utamanya di bidang kesehatan, agar lebih aware dan empati terhadap penderita strabismus. Tidak beda dengan keluhan mata seperti katarak, apabila ditangani dengan baik, penderita strabismus bisa terhindar dari gangguan fungsi dan psikologis. Mari lebih peka tidak hanya pada apa yang terlihat secara kasat mata, tetapi juga pada apa yang dirasakan oleh penderita strabismus. Buka diri lebih luas terhadap strabismus dan solusi apa yang bisa kita berikan untuk pasien kita. “If we can’t see eye to eye, lets try heart to heart. Because after all, empathy is the medicine the world needs right now.”